Tekhnik beriklan yang Dipromosikan Oleh 1.000.000 Orang Lebih,


Anda ingin Agar Link ke Blog Anda nempel terus dan dibantu promosikan oleh 1 juta orang lebih? Jika Ya, maka Anda dapat menggunakan iklan dengan Faktor Kali. Cara Kerjanya sangat sederhana. Anda mendaftar di link yang akan saya sebutkan beberapa saat lagi. Kemudian langsung LOGIN dan isi Data Anda meliputi Blog Anda, judul Blog Anda dan keterangan singkat tentang Blog Anda tersebut. Segera setelah itu anda akan punya WEBSITE REPLIKA KHUSUS dengan id Anda yang unik untuk Anda promosikan. Saran saya letakkan saja link link ini di blog Anda agar orang lain dapat mengikuti.

Anda pasti sangat mudah mengajak orang untuk mendaftar, karena semua orang butuh promosi, setiap orang ingin iklan mereka tersebar dengan cepat. Ok, anggaplah anda telah mulai mempromosikan website replika Anda tadi. Kita asumsikan 2 orang teman Anda sudah Gabung melalui link Anda!. 2 Orang ini disebut Level 1 Anda. Setelah itu promosi otomatis Anda akan mulai segera bekerja sendiri bagaikan autopilot. Mengapa? Karena link ke blog Anda tadi NEMPEL pada website 2 orang member Anda tadi. Sekarang Anda mulai dibantu promosi oleh 2 orang!.
2 Orang member Anda tadi juga bisa mengerjakan cara yang sama, mereka mengajak masing-masing 2 teman mereka, berarti ada tambahan 4 orang kan?. 4 Orang ini disebut Level 2 Anda. Total Jumlah member Anda sekarang menjadi 6. Kemudian ini berlanjut terus, 4 orang baru yang di level 2 Anda tadi juga mengajak 2 teman mereka, tambah 8 (Level 3). Sekarang Anda telah dibantu oleh 14 orang. Link Ke Blog Anda dibawa oleh 14 orang, padahal Anda hanya ngelink ke tempat saya satu kali bukan? Ini terus berlanjut!
Perkembangan seperti ini tabel perkembangannya:

LevelJumlahTotal
122
246
3814
41630
53262
664126
7128254
8256510
95121022
1010242046
1120484094
1240968190
13819216382
141638432766
153276865534
1665384131070
17131072262142
18262144524286
195242881048574
2010485762097150



Ternyata jika Anda mendaftar setelah ini, memasukkan informasi blog Anda, kemudia saya mengajak 2 orang saja maka iklan Anda dapat dibawa bukan oleh 1 juta orang lebih melainkan 2 Juta orang lebih! Promosi Anda yang sederhana bisa membuat iklan Anda NEMPEL pada sebanyak itu orang, gratis pula!.
Anda tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Silahkan bergabung sekarang juga kesini:

Caranya Cukup Mendaftar di website ini, GRATIS. Setelah mendaftar silahkan cek password yang otomatis terkirim ke email Anda, kemudian langsung login dan pasang judul artikel, keterangan dan URL link yang ingin Anda promosikan di website ini. Sistem periklanan ini seperti Multi Level Marketing sedalam 20 Level, GRATIS PASTI!.
Bagaimana detailnya promosi Anda bisa dahsyat begitu? 
Link untuk Registrasi dan Login ada di bagian bawah halaman ini. Anda akan segera mendapatkan Affiliate URL tersebut setelah mendaftar. Idealnya Anda memang mengajak 2 orang teman Anda untuk memasang bisnis mereka disini agar bisnis Anda berpotensi nempel pada jutaan orang. Namun jika Anda tidak mengajak orang sekalipun, link Anda TETAP akan nempel pada Website ini, asalkan Anda telah mendaftar dan setting data Anda di member area website ini. Disini Kami dibantu, Member pun dibantu. Saya jelaskan di bagian bawah halaman ini.

Yang Hebat Lagi,

Saya Juga Akan Membantu Anda

Saya Siap Membantu Anda berpromosi disini. Bukan hanya link sponsor yang nempel terus tetapi Anda juga akan ikut saya perkenalkan di POSISI INI. Apa lagi yang Anda tunggu? Silahkan Dafar Lewat Sini Jadi di website ini Sponsor dibantu, Member Juga dibantu!.


Silahkan Mendaftar, Klik Tombol Diatas
Gratis







BUNG KARNO, DEMOKRASI & MILITOKRASI


                Oleh  HD. Haryo Sasongko
Pada saat situasi politik di negeri kita masih genting berkaitan
dengan tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 1965 yang dikenal dengan 
sebutan G-30-S atau Gestapu (Bung Karno menyebutnya Gestok, Gerakan 
Satu Oktober), maka setelah keluarnya Supersemar (Surat Perintah 
Sebelas Maret 1966) sehari kemudian tidak hanya PKI dibubarkan, 
tetapi disusul dengan ditangkap dan ditahannya 15 orang menteri. 
Salah seorang di antaranya adalah Dr Soebandrio yang ketika itu 
menjabat sebagai Waperdam (Wakil Perdana Menteri) I yang kemudian 
dihadapkan pada sidang Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa) dan 
dijatuhi hukuman mati, kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup 
dan akhirnya dibebaskan.

Dalam sidang Mahmillub tersebut, bertindak sebagai oditurnya adalah 
Durmawel Achmad. Lebih dari 30 tahunan kemudian setelah keluarnya TAP 
MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret yang berisi pencabutan 
kekuasaan Bung Karno sebagai presiden, tersebarlah informasi yang 
dimuat sebuah suratkabar mingguan yang menyajikan transkrip 
pemeriksaan oleh Durmawel Achmad atas diri Bung Karno sebagai saksi 
ahli dalam perkara Soebandrio, yang kemudian dikenal dengan 
sebutan "Dokumen Slipi" tahun 1968. Disebut demikian mungkin karena 
proses pemeriksaannya tidak dilakukan di depan sidang Mahmillub 
melainkan di Wisma Yasso Slipi, di mana Bung Karno menjalani tahanan 
rumah sampai meninggalnya.

Durmawel Achmad  sendiri menyatakan bahwa dokumen yang disebut-sebut 
merupakan kesaksian terakhir Bung Karno yang sudah tidak menjabat 
lagi sebagai presiden itu tidak pernah ada. Namun menurut A. Dahlan 
Ranuwihardjo, mantan anggota DPRGR dan MPRS, juga mantan Ketua Umum 
Pusat  HMI, "Dokumen Slipi" itu sahih dan benar adanya. Artinya, 
menurut keyakinan Dahlan Ranuwihardjo, Bung Karno memang benar-benar 
pernah menjalani pemeriksaan, hanya mungkin tidak diumumkan dan baru 
diketahui belakangan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang 
kemudian dipublikasikan oleh sebuah surat kabar mingguan yang terbit 
pada tahun 2000 di mana era reformasi mulai bergulir dan berbagai 
fakta sejarah yang semula tersembunyi (disembunyikan) mulai terungkap.

                                                                   * 
* *
Meskipun belum ada kejelasan apakah dokumen yang berupa transkrip 
tersebut sahih atau tidak sahih dan hanya hasil rekayasa pihak 
tertentu untuk melukiskan bahwa seolah-olah memang ada pemeriksaan 
atas diri Bung Karno (yang oleh Durmawel dipanggil Tuan Sukarno), 
namun dengan mengikuti susunan kalimatnya, juga alur pemikirannya, 
tampaknya dokumen tersebut memang asli merupakan ucapan Bung Karno. 
Lebih-lebih isi kesaksian dan pengakuan Bung Karno yang merasa 
bersalah karena kebijakan politiknya dengan Dekrit Presiden, 
Demokrasi Terpimpin dan sebelumnya telah membuka kran bagi 
keterlibatan kalangan militer dalam pengambilalihan perusahaan-
perusahaan Belanda menjadi perusahaan negara, di mana kalangan 
militer banyak yang duduk sebagai pengelolanya. Semua ini telah 
membuka jalan bagi munculnya militokrasi (kekuasaan militer).  

Ada beberapa hal pokok yang ditanyakan oleh Durmawel. Yang utama 
adalah apakah Tuan Soekarno itu pengikut paham komunisme atau tidak. 
Dan mantan presiden, murid HOS Tjokroaminoto, penggagas konsep 
Marhaenisme yang kemudian menjadi dasar ideologi PNI yang 
didirikannya itu dengan tegas menjawab dirinya bukan orang komunis 
tetapi memang mempelajari Marxisme dan sosialisme sejak masih kuliah 
di HBS (sekarang ITB). Orang yang berpaham Marxisme, tidak selalu 
berarti berpaham komunisme sebagaimana dikembangkan di masa Lenin 
sehingga menjadi Marxisme-Leninisme yang isi ajarannya disesuaikan 
dengan keadaan di Rusia, namun menurut Bung Karno tidak sesuai dengan 
kondisi sosial budaya Indonesia. 

Tetapi sebagai seorang nasionalis ia menampilkan gagasan nasakom 
(nasionalis, agama, komunis) karena secara konkrit ketiga golongan 
itu ada  dan perlu diajak bersama-sama secara gotong royong untuk 
membangun Indonesia sesuai dengan kondisi sosial budaya yang ada. 
Namun Bung Karno mengakui, golongan kom yang banyak memanfaatkan 
konsep nasakom ini untuk tampil lebih dominan. Bahkan Bung Karno 
sangat tidak senang dengan sikap para tokoh PKI, terutama Aidit yang 
dinilainya sombong dan ingin mendiktenya mentang-mentang merasa 
mempunyai massa. Sejumlah jenderal AD juga tidak menyukai 
perkembangan yang condong ke kiri ini. Namun baik para jenderal 
maupun mereka yang menentangnya, yang berpuncak pada tragedi 
penculikan dan pembunuhanterhadap para jenderal pada  1 Oktober 1965 
yang terutama pelakunya dari Tjakrabirawa (Untung) dan  Brigif Jaya 
Sakti (A. Latief), kesemuanya dianggap telah mengkhianati Bung Karno 
karena tidak pernah melapor.  Dengan uraian ini Bung Karno ingin 
menegaskan bahwa dirinya tidak tahu-menahu tentang G-30-S. 
Dan Bung Karno juga merasa dikhianati karena Supersemar yang 
dimaksudkan untuk memberi perintah kepada Jenderal Soeharto guna 
melakukan tugas administrasi di bidang keamanan malah disalahgunakan 
untuk mengambil tindakan politik sebagaimana sudah disebutkan. 
Padahal, itu bukan surat penyerahan kekuasaan (transfer of authority) 
sebagaimana diungkap dalam pidato terakhirnya 17 Agustus 1966 yang 
kita kenal disebut "Jasmerah" (Jangan sekali-sekali meninggalkan 
sejarah).

Namun di balik itu semua, Bung Karno mengakui bahwa kalangan militer 
mendapat peluang untuk mendominasi negeri ini sejak Dekrit Presiden 5 
Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945, 
pembentukan MPRS dan DPRGR, di mana sejumlah perwira militer, 
termasuk AH Nasution, duduk sebagai anggotanya. Dan dengan telah 
dilakukannya pengambilalihan perusahaan Belanda dijadikan perusahaan 
negara di mana banyak anggota militer juga menjadi pengelolanya, maka 
mulailah era militer berpolitik dan berbisnis.

Pihak-pihak yang tidak setuju dengan kecenderungan ini 
mengkhawatirkan bahwa Demokrasi Terpimpin justru akan menjurus 
tersingkirnya demokrasi dan melahirkan militokrasi. Dan Bung Karno 
dalam pemeriksaan itu akhirnya mengakui bahwa "kekhawatiran itu 
ternyata menjadi kenyataan. Supersemar telah dijadikan titik awal 
militokrasi dan ABRI menguasai segala bidang kehidupan dalam 
kenegaraan dan masyarakat. Saya keliru, saya salah. Kedaulatan harus 
dikembalikan pada rakyat".

                                                                  

Bung Karno tentu saja tidak tahu bahwa militokrasi kemudian berkuasa 
di negeri ini selama Orde Baru berkuasa tak kurang dari 32 tahun 
lamanya, bahkan di era reformasi yang mencoba mengakhiri militokrasi 
namun justru telah membuka peluang kembalinya militokrasi. Bung Karno 
dulu jatuh lewat kudeta merangkak, dan kini reformasi juga layu 
sebelum berkembang karena sedang menghadapi hal yang sama, 
menghadapi "kudeta merangkak" lewat partai-partai yang secara 
terselubung ingin mengembalikan kejayaan militokrasi.

Tetapi kembali pada pertanyaan awal, apakah "Dokumen Slipi" yang 
sudah berusia lebih dari 30 tahun yang sebagian uraiannya dipetik 
dalam tulisan ini benar-benar ada? Meskipun isinya memang   benar 
adanya? Tentu tugas para peneliti sejarah yang kompeten untuk 
menjawabnya, dalam rangka ikut mencerahkan sejarah bangsa, terutama 
sejarah proklamator kemerdekaan sekaligus  founding father kita yang 
satu ini.

                                                                  
(Penulis, pemerhati masalah sosial politik, terutama berkait dengan 
pelanggaran HAM)

Ref:


Salah Tafsir Nasionalisme


Salah Tafsir Nasionalisme
Apakah Anda merasa sebagai Nasionalis (orang Indonesia?)
Sejak kapan Anda –merasa– memiliki dan menjadi orang Indonesia?
Apa artinya Indonesia bagi Anda?
Sebuah nama, sebuah tempat, sebuah wilayah?
Sebuah ruh yang selalu hadir dalam setiap tarikan nafas, setiap tindak dan langkah sampai pula kita bawa ke liang lahat?
Ataukah, Indonesia seperti yang tertera di KTP sebagai bukti kewarganegaraan?
Pertanyaan diatas menjadi sangat penting untuk segera dijawab karena kita memang membutuhkan kepastian jawaban. Namun, jawaban pertanyaan itu menjadi tidak mudah terutama jika kita melihat kondisi di berbagai propinsi di Indonesia.
Imajinasi ke-Indonesia-an, Nasionalisme, Patriotisme, Kebangsaan, ke-Indonesia-an sejatinya adalah hal yang abstrak. Ia memiliki banyak wajah, beragam rupa. Ia tak bisa diraba, tak ada wujud lahirnya.
Kendati demikian, Nasionalisme adalah suatu seleksi untuk apa saja yang diingat dan yang dilupakan. Indonesia sebagai suatu bangsa lahir melalui proses seleksi itu. Tak seorang pun yang tahu persis darimana sebenarnya Indonesia lahir. Namun bisa dikatakan bahwa batu pondasinya adalah hasil persenyawaan antara impian dan kepahitan serta kebutuhan untuk melupakan.
Kita teringat dengan keagungan Majapahit dan pada saat yang sama kita terlupa akan jaman “jahiliah” pra – Indonesia, yakni sebuah jaman ketika kita masih belum melepaskan diri dari ikatan tradisi dan kesetiaan lokal dari kedaerahan.
Nasionalisme adalah sebagian dari impian kemajuan. Indonesia berdiri karena daya melupakan. Lupa pada ikatan lama setiap daera, lupa kepada tradisi yang mengikat. Indonesia lahir bersama semangat modernitas yang ingin membebaskan.
-         Yang dilupakan adalah tipisnya pertalian antar pelbagai komponen kebangsaan.
-         Yang dilupakan adalah besarnya perbedaan latar belakang yang beraneka ragam.
-         Yang dikehendaki adalah kebersamaan, --yang dalam retorika kaum nasionalis adalah persatuan.
“Durch Blut und Eisen”. Dulu, sumpah pemuda diucapkan ketika para pemuda yang datang dari daerah yang berbeda dan berjauhan itu ingin melupakan kedaerahan mereka dan menjadi satu bangsa dengan saling berjabat tangan. Tiba-tiba sekarang kita sadar, bahwa Indonesia tak lagi ada. Indonesia yang lahir dan berdiri dari jabat tangan dan sikap membuka diri telah hilang musnah dan berganti dengan Indonesia yang lahir dari tangan pemegang kekerasan. Indonesia tampak sebagai sebuah konstruksi yang dibangun dengan kekerasan dan kekotoran sikap.
Jadi, ngapain kita repot-repot berdebat mengaku diri Nasionalis, sementara pepatah mengatakan “Gajah didepan Mata kagak keliahatan, lha...ntu kuman diseberang lautan malah kelihatan....? Nggak sesuai dengan realita !!! 

Ref:
     

BUDAYA " TIDAK " BACA

Oleh : Neni Utami Adiningsih
Penulis adalah Dosen UIN Sunan Gunung Djati. Kepala RA Alif
UNTUK kesekian kalinya, sejak tanggal 1 hingga 7 Februari 2012 diselenggarakan Pesta Buku Bandung. Bila bicara buku tentu tidak lepas dari aktivitas membaca. Pertanyaannya, sudahkah membaca menjadi salah satu kegiatan rutin kita? Yang secara sadar kita lakukan setiap hari dan merasa ada yang kurang/hilang bila tidak melakukannya, laiknya kita melakukan aktivitas makan, minum, tidur, bekerja, bahkan menonton televisi, bertwiteran serta berfacebookan.

Belum
Hingga kini sebagian besar masyarakat Indonesia belum mempunyai kebiasaan membaca (reading habit). Jangankan membaca buku-buku "berat" dan tebal yang bertema sastra, sosial, filsafat, atau buku-buku teknologi yang sarat dengan istilah asing, untuk membaca surat kabar saja, yang semestinya dengan sekali duduk, tak lebih dari 30 menit, sudah bisa tuntas dibaca, masih sangat enggan. Pedagang surat kabar baru diserbu pembeli apabila ada pertandingan sepakbola, sekadar ingin melihat jadwal dan hasil pertandingan. Sungguh berbeda dengan keinginan dan waktu yang digunakan untuk menonton televisi, SMS-an atau "berkicau" di media online. Begitu besar minatnya, sampai sampai sering dijumpai pengendara motor/mobil yang mau membahayakan diri dan orang lain dengan memencet-mencet tombol HP sambil mengemudi.

Masyarakat Bandung saja, yang kotanya sangat terkenal mempunyai banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi berkualitas, ternyata jarang membaca buku. Penelitian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jawa Barat pada 2010 yang bertajuk "Siapa Masih Membaca Buku (Cetak)?" di Bandung memperlihatkan bahwa dari 2.400 responden (0,1% jumlah penduduk Kota Bandung) hanya separuhnya saja, yakni 50,21 persen, yang mau membaca, itu pun kurang dari satu jam yang 45 persennya hanya untuk melaksanakan tugas. Artinya, karena terpaksa, bukan karena keinginannya sendiri. 20,25 persen responden membaca untuk mendapatkan inspirasi dan 19,38 persennya untuk memperoleh hiburan. Dapat dipastikan persentasenya akan semakin kecil untuk rentang waktu baca yang lebih lama.

Minat terhadap buku ini berkebalikan dengan atensi terhadap peralatan informatika. 52,20 persen masyarakat menghabiskan waktu 1-3 jam untuk menggunakan internet. Bahkan, ada yang hingga 3-5 jam. Ironisnya, 52,79 persen pemanfaatan internet hanya intuk komunikasi interaktif seperti media sosial yakni Facebook, Yahoo Messenger, Twitter, dan sebagainya. Yang menggunakannya untuk komunikasi via email 11,96% . Hanya 15,58 persen saja yang memanfaatkannya untuk mencari informasi. Bahkan yang menggunakan internet untuk membaca buku online hanya 3,04 persen (Galamedia, 1/11/11). Bagaimana dengan ketertarikan terhadap tayangan televisi? Hasil survey dari lembaga riset The Nielsen Company pada tahun 2010 menunjukkan bahwa anak usia lima tahun ke atas rata-rata menonton televisi sekitar 4 jam 22 menit sehari. Jumlah ini, lima menit lebih banyak dibandingkan tahun 2009.

Lompatan

Kondisi budaya tidak baca ini diakibatkan oleh kegagalan masa lampau masyarakat kita dalam membangun kehidupan beraksara tulis. Ketika itu masyarakat sudah piawai untuk berbicara juga sangat kreatif namun sangat enggan untuk mendokumentasikan semua pembicaraan dan ide dalam bentuk tulisan. Terbukti tidak banyak peninggalan sejarah yang berbentuk tulisan. Saat ini kita sering kesulitan menelusuri aktivitas, peristiwa dan pola pikir kehidupan masa lampau. Karena tidak ada yang ditulis, tentu tidak ada juga yang dapat dibaca, apalagi dipahami..

Kondisi ini diperparah oleh kebijakan penguasa yang tidak mendukung berkembangnya budaya baca menulis. Bahkan minimnya dukungan ini terus berlanjut hingga kini. Mahalnya harga kertas, tingginya pajak perbukuan, rumitnya birokrasi perbukuan merupakan contoh nyata.

Di saat budaya baca juga tulis belum tercipta dengan kuat, kita telah diserbu budaya media informatika. Berbeda dengan keberadaan buku, Pemerintah justru sangat mendukung keberadaan media informatika. Kian hari harga media informatika semakin murah dengan produk yang kian beragam. Hasilnya, kini televisi, HP dan internet bukan lagi barang mewah yang sulit dicari. Kita telah mengalami lompatan budaya yang menghambat berkembangnya budaya baca.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 memperlihatkan bahwa penduduk berusia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya berjumlah 55,11 persen yang membaca tabloid atau majalah sebesar 29,22 persen, yang membaca buku fiksi 44,28 persen, dan yang membaca buku pengetahuan 21,07 persen. Kondisi ini tak jauh beda dengan kondisi 10 tahun sebelumnya (1993), hanya meningkat sebesar 0,2 persen padahal kenaikan jumlah menonton televisi mencapai 21,1 persen.

Itulah, yang menyebabkan budaya baca tidak terbangun di masyarakat kita. Berbeda halnya dengan di negara-negara Barat. Di sana, budaya baca sudah terbentuk kokoh ketika budaya menonton televisi dan berinternet terjadi. Sehingga walaupun mereka menonton televisi, namun tetap mempertahankan budaya bacanya.

Memang membaca bukanlah satu-satunya cara untuk untuk memperoleh pengetahuan, dengan menonton televisi dan bersosialisasi kita juga dapat memperoleh informasi, namun demikian menurut beberapa ahli ada kelebihan dari membaca dalam konteks pencarian pengetahuan. Hal ini karena aktivitas membaca melibatkan aspek berpikir (to think), merasakan (to feel), dan bertindak (to act). Di sepanjang hampir seluruh jenjang pendidikan, kita diajari membaca terutama hanya untuk mencari informasi, bukan untuk memahami, merasakan dan bertindak. Akibatnya, membaca menjadi kegiatan yang kurang menarik. Orang tua dan pendidik mempunyai andil besar untuk mengenalkan nikmatnya membaca kepada anak (didik)nya. Agar langkah ini berhasil, teladan menjadi kunci utamanya. Jadi, mari kita membudayakan membaca.

DAMPAK BAHAYA " DIKEROK "

SAAT ini kondisi cuaca bisa dikatakan sedang tidak bersahabat. Terutama kerap munculnya angin kecang. Bahkan tidak hanya dipagi hari serta malam hari, angin kencang pun muncul saat di siang hari, dimana banyak orang yang melakukan aktivitasnya di luar rumah. Untuk itu, sangat diperlukan mengecek kondisi kesehatan dan jangan sesekali menganggap remeh yang namanya masuk angin.Seperti diketahui, kerap mendengar istilah "angin duduk" untuk menggambarkan sakit mendadak yang ditandai keringat dingin, pusing dan sulit bernapas. Mirip gejala masuk angin. Bahayakah kondisi ini?
"Angin duduk, selain seperti masuk angin, sering terasa seperti sedikit flu dan ada rasa tidak nyaman di dada. Ini sebenarnya adalah gejala serangan jantung, namun orang awam banyak menyebutnya dengan sebutan, 'angin duduk'," kata Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Dr. P. Tedjasukmana, SpJP, di Jakarta.

Berdasar penelitian beberapa dokter melalui teknik wawancara, 60 % pasien menyatakan mengalami serangan jantung dengan gejala awal menyerupai masuk angin.

Dr. Tedja mengatakan, banyak pasien penyakit jantung kerap terlambat mendapat penanganan karena mengacuhkan gejala yang muncul. Mereka menahan diri ke rumah sakit dan memberikan penanganan sendiri layaknya orang masuk angin, seperti kerik (dikerok -red.). Setelah dikerik mungkin mereka merasa lebih sehat, namun sesungguhnya itu berisiko menyebabkan kematian mendadak.

"Bukan akibat kerikannya mereka meninggal secara mendadak. Tetapi serangan jantung yang lebih lama mendapatkan pertolongan medis, semakin luas penyebab kerusakan jantung dan risiko kematian semakin tinggi," ujarnya.


Menurutnya, banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya serangan jantung, salah satunya adalah kolesterol. Untuk itu, selalu dianjurkan agar melakukan pola hidup sehat sejak dini, mengonsumsi makanan sehat dan seimbang, melakukan olahraga teratur dan rajin melakukan cek kesehatan ke dokter.

"Rekomendasinya, setiap orang yang memasuki usia dewasa disarankan untuk melakukan cek total kolesterol, LDL kolesterol, HDL kolesterol dan trigliserida selama lima tahun sekali, tapi untuk usia 35 tahun ke atas lakukan pemeriksaan setiap satu tahun sekali, jika tidak memiliki kelainan," katanya.

Banyak juga dari masyarakat yang menganut kebiasaan 'kerokan' saat menderita masuk angin. Kalian pasti sudah tahu, apa itu 'kerokan' bukan? 'Kerokan' itu suatu pengobatan tradisional untuk mengatasi gejala masuk angin dengan cara menggosokkan suatu benda tumpul seperti koin, batu giok, gundu, potongan jahe, potongan bawang, atau benda tumpul lainnya yang dipadupadakan dengan cairan licin seperti minyak telon, minyak olive, minyak kelapa, atau lotion. Agar saat dikerok atau digosok, kulit kita tidak mengalami iritasi.

Ampuh

Pengobatan tradisional yang sudah turun temurun ini banyak disinyalir ampuh mengobati masuk angin. Bahkan secara biaya, murah meriah. Namun dibalik kemurah-meriahannya, ada dampak yang mesti diperhatikan juga. Mengingat hal itu, berdampak pada kesehatan selanjutnya.

Nah, apa saja dampak negatif 'kerokan' bagi kesehatan tubuh. Mengakibatkan kontraksi dini. Kenapa bisa begitu? Karena saat tubuh dikerok atau dikerik, maka akan terjadi Inflamasi. Nah, yang menjadi masalah adalah reaksi penolakan terhadap Inflamasi tubuh.


Saat terjadi Inflamasi, maka mediator anti Inflamasi akan mengeluarkan suatu zat yang disebut "Cytokines" merupakan sel yang bisa meningkatkan kekebalan tubuh.

Zat ini akan memicu pelepasan Prostaglandin yang bisa menyebabkan kontraksi pada rahim. Oleh sebab itu, bagi ibu-ibu yang sedang hamil sangat dilarang penyembuhan dengan cara dikerok, karena bisa mengakibatkan timbulnya kontraksi dini akibat munculnya zat Prostaglandin. Kemudian masuknya bakteri dan virus.

Aktivitas mengerok atau mengerik tubuh, berdampak pada pori-pori kulit akan terbuka lebar oleh karena efek gesekan kulit dengan benda tumpul maupun karena panas tubuh yang meningkat. Saat poripori membesar, maka akan memudahkan angin masuk kembali ke tubuh dengan membawa bakteri dan virus dari udara ke dalam tubuh.

Memang efeknya tidak akan langsung terasa oleh tubuh, tapi akan muncul efek dikemudian hari. Sebagian besar orang akan merasa ketagihan saat dikerok dan pasti akan melakukannya lagi saat dia terserang masuk angin. Semakin sering dikerok dan semakin sering pula pori-pori tubuh melebar, maka akan semakin banyak juga virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh.

Jadi, dalam hal ini bukan berarti mengindahkan terapi tradisional yang sudah turun temurun. Namun diharapkan, bisa lebih waspada dan bisa memilih yang terbaik untuk kesehatan tubuh.




BUNG KARNO MENYERAHKAN JIWA RAGANYA UNTUK INDONESIA


M Djumaini Kartaprawira PhD 


BUNG KARNO 
SEBAGAI BAPAK PEMERSATU 
BANGSA INDONESIA DAN AJARANNYA

PERJUANGAN BUNG KARNO MEMPERSATUKAN BANGSA 

Bung Karno sebagai pejuang pemersatu bangsa, pejuang
melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator
kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama
selalu dikenal dan dihormati oleh rakyat Indonesia.
Sebab selama hayatnya Bung Karno telah menyerahkan
seluruh tenaga dan fikirannya untuk mempersatukan
bangsa Indonesia agar menjadi bangsa besar yang hidup
dalam masyarakat berkeadilan dan berkemakmuran -
masyarakat adil makmur, yang bebas dari penindasan
manusia atas manusia, dan eksploitasi manusia atas
manusia.

Semua konsekuensi perjuangan untuk itu dia hadapi
dengan berani, meskipun harus masuk keluar penjara,
menjalani pembuangan dari satu tempat ke tempat lain,
menghadapi pencaci-makian dari lawan-lawan politiknya,
pengkhianatan dari kawan-kawan seperjuangannya,
mempertaruhkan kekuasaan dan jiwanya pada saat
kesehatannya yang sudah sa-ngat kritis. 

Kepeduliannya atas nasib rakyat Indonesia yang dijajah
oleh kolonialisme Belanda adalah motor yang
menggerakkan jiwa Bung Karno untuk menyerahkan seluruh
jiwa raganya dalam perjuangan politik tersebut. Maka
tidak mengherankan kalau garis perjuangan Bung Karno
adalah melenyapkan kolonialisme untuk berdirinya
Indonesia Merdeka. Bung Karno menyadari bahwa
perjuangan melawan kolonialisme tidak bisa lepas
dengan perjuangan melawan kapitalisme. Maka perjuangan
Indonesia Merdeka juga tertuju kepada terbentuknya
masyarakat adil makmur (sosialisme Indonesia), yang
bebas dari eksploitasi manusia atas manusia. Dan
akhirnya, perjuangan untuk Indonesia Merdeka dan
terbentuknya masyarakat adil makmur tidak bisa
tercapai tanpa adanya persatuan seluruh bangsa
Indonesia.

Atas dasar pokok-pokok pikiran tersebut di atas Bung
Karno telah berhasil:
1. Menggugah rasa kebangsaan, sehingga bisa
membangkitkan kesedaran diri bahwa harus bersatu padu
untuk melawan penjajahan. Sebagai hasil proses
kesadaran itulah maka lahir Sumpah Pemuda pada Oktober
1928 yang merupakan manifestasi tekad para pemuda
untuk mewujudkan bangsa Indonesia bersatu di bawah
semboyan satu bangsa - bangsa Indonesia, satu bahasa -
bahasa Indonesia, dan satu tanah air - tanah air
Indonesia.
2. Dengan dukungan rakyat, memproklamirkan kemerdekaan
bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 45, yang
diikuti dengan pembentukan UUD 1945, pemerintahan
beserta alat perlengkapan negara lainnya.
Indonesia Merdeka inilah yang selalu ditunggu segera
kelahirannya, tanpa menunggu sampai rakyat bisa
membaca, berbudaya tinggi dsb.
3. Memimpin bangsa untuk mempertahankan negara dari
usaha-usaha come-backnya kolonialisme Belanda yang
disertai dengan aksi kolonial pertama dan kedua.
Bagaimanapun beratnya mempertahankan negara menghadapi
lawan yang persenjataannya jauh melebihi, dengan
persatuan seluruh kekuatan bangsa perjuangan dapat
dimenangkan.
4. Menggagalkan politik devide et impera Belanda yang
dengan mendirikan negara-negara boneka bertujuan untuk
mengeroyok RI di dalam Republik Indonesia Serikat.
Tetapi kenyataannya, negara-negara buatan van Mook
tersebut satu demi satu bergabung dengan RI. Dan
akhirnya RIS berubah menjadi NKRI secara
konstitusional. Hal ini membuktikan api persatuan Bung
Karno tetap membakar jiwa rakyat di daerah-daerah
tersebut dan gagallah proyek federalisme van Mook.
5. Dengan tindakan tegas menyelamatkan negara dari
bahaya separatisme dan gerombolan-gerombolan
pembrontak (RMS, PRRI-Permesta, Di/TII, Gerombolan
Andi Azis dll.) sehingga Indonesia terhindar dari
ancaman disintegrasi yang sangat berbahaya bagi
eksistensi negara Indonesia yang masih muda.
6. Memimpin perjuangan rakyat merebut kembali Irian
Barat dari cengkeraman kolonialisme Belanda, sehingga
tercapailah persatuan dan kesatuan Indonesia dari
Sabang sampai Merauke.

Harus diakui bahwa perjuangan mempersatukan bangsa
yang begitu majemuk suku bangsanya, etniknya,
agamanya, tingkat budayanya, wilayah dan jumlahnya
yang begitu besar, dan dilakukan dalam keadaan yang
serba kekurangan adalah kesuksesan yang maha besar.
Suatu bukti persatuan bangsa dapat memenangkan segala
macam perjuangan.


SUMBER IDE PERSATUAN BUNG KARNO

Seluruh kiprah perjuangan Bung Karno yang telah
berhasil mempersatukan bangsa Indonesia melawan
kolonialisme Belanda, mendirikan Negara Republik
Indonesia (bahkan menggalang solidaritas internasional
melawan nekolim), adalah buah ide dan gagasan
cemerlang yang dilahirkannya sejak masa mudanya. 

Suatu ide politik tidak akan lepas dari suatu situasi
di mana penggagas berpijak. Ide Bung Karno lahir di
mana bangsa Indonesia dalam keadaan nestapa karena
penjajahan kolonialisme Belanda dan eksploitasi sistem
kapitalisme. Maka tidak mengherankan kalau benang
merah ide dan ajaran Bung Karno adalah persatuan
bangsa Indonesia untuk mengubah kenestapaan rakyat
menuju masyarakat adil dan makmur yang bebas dari
eksploitasi manusia atas manusia. Jelas ide persatuan
tersebut mempunyai tujuan luhur, bukannya persatuan
demi persatuan.

1. Ide persatuan yang pertama, dipublikasikan dalam
sebuah artikel “Nasionalisme, Islamisme dan
Marx-isme”. Dalam artikel tersebut dengan jelas ide
persatuan antara tiga golongan itu menjadi intinya.
Sebab masyarakat Indonesia pada dasarnya langsung atau
tidak, terlibat dalam ketiga ideologi tersebut. Dan
kenyataan tersebut tidak bisa dibantah oleh siapapun.
Dalam artikel tersebut, yang ditulis pada tahun 1926
di dalam Suluh Indonesia Muda, dan dalam masa
gawat-gawatnya perjuangan melawan kolonialisme
Belanda, dengan jelas Bung Karno menganjurkan dan
membuktikan bahwa persatuan antara masyarakat penganut
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme bisa terjadi. 

2. Ide persatuan tercermin juga dalam ajaran
Marhaenisme. Dalam Marhaenisme ini tercermin ide
persatuan kekuatan akar bawah, sebab persatuan di sini
terutama diarahkan kepada kaum: proletar, tani dan
kaum melarat lainnya. Mereka inilah yang oleh Bung
Karno disebut kaum marhaen.
Untuk merekalah perjuangan terbentuknya masyarakat
adil dan makmur dengan memegang panji-panji
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

3. Ide Persatuan tercermin dalam Pancasila, yang
dilahirkan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 di dalam
pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dengan jelas
sekali ajaran persatuan nasional, persatuan bangsa
Indonesia ini dituangkan dalam pidato tersebut.
Anggota BPUPKI yang terdiri dari bermacam-macam
golongan ternyata bisa menerima Pancasila sebagai
Dasar Filsafat Negara Indonesia Merdeka. Bung Karno
dalam pidatonya di Universitas Indonesia tahun 1953
yang berjudul “Negara Nasional dan cita-cita Islam”
melukiskan bagaimana susah payahnya menghasilkan
kompromi dalam sidang BPUPKI. Sebab kalau tidak
menyetujui adanya Pancasila mungkin Indonesia tidak
akan muncul sebagai Indonesia seperti dewasa ini.
Mungkin di wilayah ex-Hindia Belanda ini yang muncul
adalah negara Indonesia tanpa Minahasa, Bali, Batak
Toba, Kep. Maluku, Timor, Flores dan lain-lainnya.
Demikianlah Pancasila yang merupakan tuangan ide
persatuan bangsa, yang kemudian dijadikan dasar
filsafat negara RI.

4. Ide Persatuan tercermin juga dalam konsep NASAKOM
(persatuan unsur Nasionalis, Agama dan Komunis).
Nasakom ini sesungguhnya penyempurnaan dari ide yang
tertuang dalam artikel “Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme”. Hanya saja unsur Islam diperluas menjadi
unsur Agama(A), sehingga di dalamnya persatuan
tersebut selain Islam terdapat agama-agama lainnya
(Katolik, Protestan Hindu, Budha). Sedang unsur KOM
adalah penegasan bahwa dialah yang karena tanpa tedeng
aling-aling menonjolkan ide Marxisme, diakui sebagai
unsur yang mewakili golongan marxisme. Dengan demikian
NASAKOM merupakan realisasi ide persatuan Bung Karno
sesuai konfigurasi peta politik konkrit pada waktu
itu.


PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PEDOMAN PERSATUAN
NASIONAL

Semua ide Bung Karno tentang persatuan tersebut di
atas terkonsentrir di dalam Pancasila, yang telah
menjadi dasar negara RI. Maka uraian mengenai
Pancasila akan mendapatkan tempat yang utama.

Situasi politik di Indonesia yang sangat rawan akan
ancaman disintegrasi bangsa adalah disebabkan karena
akibat kekuasaan rezim orde baru yang telah
menyelewengkan nilai-nilai Pancasila. Maka mengkaji,
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila
adalah salah satu usaha penting untuk menghindarkan
bahaya disintegrasi bangsa dewasa ini.
Fakta historis tanggal 1 Juni 1945 yang melahirkan
Pancasila harus dijadikan titik tolak dalam mengkaji
dan mengamalkan Pancasila, supaya tidak terjadi
penafsiran kontroversial tentang hakekat Pancasila
yang sebenarnya. 

Adalah sangat penting untuk mengembalikan makna
nilai-nilai Pancasila sesuai dengan apa yang digagas
oleh Bung Karno. Maka dalam mengkaji balik Pancasila,
pertama-tama harus kita akui bahwa Pancasila itu
digali oleh Bung Karno, yang tertuang dalam pidatonya
pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Sebab dari situ kita akan menemukan inti
filsafat Pancasila sebenarnya, yang langsung dari
penggalinya - Bung Karno. 
Mengenai Pancasila, Bung Karno selalu menyatakan
dirinya hanya sebagai Penggalinya. Tapi sesungguhnya
pernyataan itu hanya sebagai pernyataan rendah hati.
Yang tepat sesungguhnya Bung Karno tidak hanya sebagai
penggali, tetapi juga penciptanya. ‘Menggali’ berarti
mengambil sesuatu yang masih merupakan bahan mentah
dari kandungan bumi. Sedang ‘mencipta’ berarti
mengolah, membuat sedemikian rupa sehingga bahan-bahan
galian yang masih mentah tersebut menjadi barang-jadi.


Seperti kita ketahui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
misalnya, memang digali dari bumi Indonesia, dimana
rakyatnya telah berabad-abad menganut berbagai macam
agama. Tapi tergalinya fakta tersebut, belumlah cukup
untuk mengatakan adanya atau terciptanya sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Falsafah
Pancasila. Fakta tersebut masih merupakan bahan galian
yang mentah. Sebab fakta adanya bermacam-macam agama
belum merupakan konsepsi falsafah yang bisa menangkal
kemungkinan timbulnya bentrokan atau peperangan antara
penganut-penganutnya. Bahan galian tersebut baru
menjadi salah satu sila dari Pancasila setelah diolah
oleh Bung Karno menjadi suatu rumusan filsafat negara
yang berintikan toleransi, saling menghormati dan
persatuan dari para penganut berbagai-bagai agama
untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia yang adil dan
makmur. 
Begitu juga sila Kebangsaan (nasionalisme, persatuan
Indonesia) adalah hasil godogan Bung Karno dari rasa
kesadaran sukubangsa-sukubangsa yang mendiami wilayah
Indonesia sebagai kesatuan bangsa Indonesia dengan
rasa kesadaran menghargai dan menghormati martabat
bangsa lain. Dengan digalinya fakta bahwa di kepulauan
Indonesia terdapat suku-suku bangsa yang
bermacam-macam, belum bisa menjamin tidak adanya
permusuhan antarsuku. Lebih dari itu Nasionalisme
dalam filsafat Pancasila adalah Nasionalisme yang
berpadu dengan Humanisme, yang oleh Bung Karno disebut
sosio-nasionalisme (Ben Anderson menamakannya
Nasionalisme Kerakyatan). Jadi jelas bukan
nasionalisme sempit yang menuju kepada sovinisme,
seperti yang berkembang di Eropah.

Sedang sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat, atau
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan /perwakilan) adalah suatu hasil
godogan antara galian yang berwujud musyawarah dan
mufakat yang telah ada berabad-abad di kalangan
masyarakat Indonesia dengan falsafah yang mengarah
kepada tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat
bersama. Maka demokrasi yang demikian itu bukanlah
demokrasi yang menjurus ke anarkisme, yang
liberal-liberalan untuk berlomba memupuk kekuasaan dan
kekayaan bagi diri sendiri, keluarganya atau
kelompoknya, hingga melupakan kepentingan rakyat.
Demokrasi berdasarkan filsafat Pancasila oleh Bung
Karno disebut Sosio-Demokrasi, yaitu Demokrasi yang
bersenyawa dengan tuntutan Sila Keadilan Sosial, yang
merupakan demokrasi di bidang politik, ekonomi dan
budaya.
Demikianlah bahan-bahan mentah yang telah digali Bung
Karno telah dia masak dengan ‘bumbu-bumbu’: toleransi,
persatuan dan cita-cita masyarakat adil makmur
sehingga tercipta menjadi Pancasila Dasar Filsafat
Negara RI dan pedoman untuk perjuangan persatuan
nasional. Kita tidak bisa memalsukan sejarah
Pancasila, yang dilahirkan pada 1 Juni 1945 di depan
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Maka segala tafsiran mengenai
Pancasila haruslah bertolak pada sumber aslinya, kalau
tidak mau dikatakan memutar-balikkan sejarah dan
hakekat Pancasila. 

Selanjutnya Bung Karno menyatakan Pancasila bisa
diperas menjadi Trisila (Sosio-nasionalisme,
Sosio-demokrasi, Ketuhanan YME). Sedang Trisila bisa
juga diperas menjadi Ekasila - Gotongroyong. Perasan
terakhir ini mencerminkan inti dari Pancasila, yaitu
persatuan seluruh kekuatan bangsa Indonesia untuk
bersama-sama bergotong royong berjuang demi
terbentuknya masyarakat adil dan makmur.

Formulasi Pancasila seperti yang diucapkan Bung Karno
di BPUPKI diformulasikan di dalam UUD 45 (dan
konstitusi RIS, UUDS NKRI 1950) agak berbeda. Meskipun
demikian Pancasila yang tercantum di dalam UUD 45
(Pembukaan) tidak bisa dikatakan bertentangan dengan
Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Hanya dua hal yang menurut pendapat kami harus
mendapatkan perhatian bahwa; 
1. Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD
45, tetaplah Bung Karno sebagai Penggali/Penciptanya. 
2. Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD 45
haruslah segala penafsiran dan pengamalannya sesuai
dengan yang tersurat dan tersirat di dalam pidato
Pancasila Bung Karno. Hal ini penting sekali untuk
menghindarkan penyalah gunaan ajaran Pancasila. 


LIKU-LIKU SEJARAH PERJALANAN PANCASILA

Di masa kekuasaan Orde Baru Pancasila selalu dijadikan
label pada kegiatan dan kebijakannya. Nama Pancasila
dicatut untuk menutupi kekuasaan fasis otoriter yang
antirakyat, antinasional dan antidemokrasi.
Demikianlah dengan pembubuhan kata Pancasila pada
“Demokrasi” muncullah apa yang dinamakan “Demokrasi
Pancasila”, dengan mana rezim Orde Baru selama 32
tahun telah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar
Pancasila itu sendiri, UUD 45, HAM dan keadilan. 

Di samping itu Orde Baru tidak hanya menjadikan
Pancasila sebagai label belaka, tapi juga memperalat
sedemikian rupa sehingga dengan mudah penguasa bisa
mencap seseorang yang berbeda politiknya, melanggar
atau mengkhianati Pancasila. Dan bersamaan dengan itu
penguasa menyebarkan “momok komunis/komunisme” untuk
menakut-nakuti rakyat. 
Rezim Orde Baru juga melakukan usaha-usaha untuk
menghapus jasa-jasa Bung Karno dari sejarah Indonesia
dan memanipulasi Pancasila. Misalnya, penguasa yang
melalui mendikbudnya - Nugroho Notosusanto, berusaha
memalsukan fakta sejarah, dengan pernyataannya bahwa
penggali Pancasila bukan Bung Karno. Kita belum lupa
penghapusan peringatan 1 Juni - Hari lahirnya
Pancasila dan diganti dengan peringatan terbunuhnya
para jenderal dalam peristiwa G30S dengan nama Hari
Kesaktian Pancasila, yang tidak ada kaitannya sama
sekali dengan Pancasila. Dan sangat menyedihkan bahwa
uang negara dihambur-hamburkan oleh rezim Orde Baru
hanya untuk mengelola suatu badan yang bernama BP-7
(dbp. Alwi Dahlan), yang nota bene bertujuan agar
“Pancasila” tetap bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan
untuk mempertahankan kekuasaan Orba. 

Pada zaman Orde Baru, 5 paket UU politik dan Dwifungsi
ABRI merupakan perangkat politik yang jelas-jelas
menjegal realisasi sila Demokrasi
(musyawarah-mufakat), sehingga mengakibatkan demokrasi
menjadi lumpuh tidak berjalan. Kekuasaan
totaliter-militeristik Orde Baru selama 32 tahun
mengakibatkan rakyat dewasa ini harus mulai belajar
demokrasi lagi. Dan terasa sampai dewasa ini demokrasi
hanya dijadikan alat untuk menang-menangan dalam
perebutan kepentingan golongan, sehingga mengorbankan
kepentingan rakyat.

Kesenjangan sosial warisan Orde Baru sampai sekarang
terus ditanggung rakyat. Kalau kesenjangan sosial ini
diumpamakan sebagai rumput kering, maka siapa saja
yang melempar api kepadanya akan terbakarlah rumput
tersebut dan terjadilah malapetaka yang tragis. Api
penyulutnya itu bisa dari perselisihan etnis, agama,
politik, dan apa saja. Maka tidak mengherankan
timbulnya keresahan-keresahan sosial di beberapa
daerah sebagai pencerminan menipisnya nilai-nilai
Pancasila di kalangan masyarakat.

Dengan adanya pembakaran gereja-gereja dan tempat
ibadah lainnya, telah membuktikan tentang adanya
bahaya yang mengancam ajaran toleransi kehidupan
antaragama yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara
orang-orang Dayak dan orang-orang Madura di Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah yang mengorbankan banyak
nyawa juga membuktikan adanya bahaya yang mengancam
atas ajaran kerukunan antarsuku bangsa yang terkandung
di dalam Sila Persatuan Indonesia (Nasionalisme).
Ucapan seorang menteri Orde Baru pada 17 Juni 1997 di
Surabaya bahwa:”Halal darah dan nyawa para perusuh”,
menunjukkan bagaimana nilai-nilai Pancasila direalisir
oleh Orde Baru.

Seandainya saja kue hasil pembangunan itu bisa
mengucur dari atas ke bawah - ke rakyat, dari pusat ke
daerah, mungkin keresahan sosial sedikit demi sedikit
bisa diatasi. Tapi sampai sekarang kue pembangunan
tersebut hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja.
Padahal untuk membiayai terciptanya ‘kue pembangunan’
ini telah dikeruk habis-habis kekayaan rakyat (minyak,
gas, hutan, emas dll.) ditambah dengan hutang luar
negeri yang berjumlah kurang lebih 150 milyar USD. Ada
suatu anggapan bahwa kalangan lapisan atas dengan
sengaja berusaha melupakan katakunci ‘pemerataan’,
yang sejak dulu (sebelum adanya perestroikanya
Gorbacev) telah merupakan tujuan dari Sila Keadilan
Sosial. Sedang pembangunan yang berwujud gedung-gedung
tinggi megah, obyek-obyek rekreasi mewah, jalan-jalan
aspal halus dan sebagainya, bukanlah prioritas
pembangunan yang diperlukan bagi kepentingan puluhan
juta orang yang hidup di sekitar garis kemiskinan. 

Juga jalannya sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab) masih perlu diluruskan. Adalah wajar
bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum harus
ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi
jelas tidak wajar bahwa di dalam negara hukum
Indonesia telah terjadi pembunuhan massal dan
penahanan puluhan ribu orang selama bertahun-tahun
tanpa proses hukum, yang sampai sekarang belum ada
tanda-tanda penegakan hak azasi yang terlanggar
tersebut. Adalah sukar diterima oleh akal sehat bahwa
orang yang menjadi korban penyerbuan (di gedung DPP
PDI jalan Diponegoro tahun 1996) malah diseret ke
pengadilan dan dijatuhi hukuman. Dimana sila
Kemanusiaan? Yang Adil dan Beradab? Nol besar, tidak
ada kemanusiaan, tidak ada keadilan, apalagi yang
beradab. Kasus-kasus yang terjadi di zaman Orde Baru
tersebut, sampai sekarang dampaknya masih terasa dan
belum terselesaikan.

Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah
Indonesia. Mengenang sejarah Pancasila mau atau tidak
mau kita mengenang Bung Karno juga, yang telah berjasa
menggali, menciptakan dan menempatkan Pancasila
sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia. Tidaklah
salah kalau Pancasila dikatakan sebagai hasil
pemikiran Bung Karno yang genial, yang mengandung
nilai-nilai filsafat tinggi, yang bisa diterapkan
tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara
lain demi kerukunan ummat dan perdamaian dunia. Adalah
suatu penyelewengan terhadap Pancasila, apabila
penafsirannya tidak berdasarkan Pancasila-asli,
seperti yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1945. Mengenang Bung Karno adalah mengenang sejarah
perjuangan rakyat Indonesia yang mendambakan
kerukunan, kemerdekaan, perdamaian, keadilan dan
kemakmuran. 


PERSATUAN UNTUK PERJUANGAN REFORMASI

Dalam era reformasi dewasa ini kiranya perlu
dikobarkan lagi ide persatuan Bung Karno demi
suksesnya gerakan reformasi, demi penghancuran
sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan sistemnya. Hanya
dengan demikianlah pengentasan bangsa dan negara dari
kungkungan multikrisis bisa dilaksanakan.
Ini berarti bahwa para elite politik harus
menghentikan perang-tandingnya dalam perebutan
kedudukan dan kekuasaan, mengarahkan moral
intelektualnya kepada perbaikan nasib rakyat yang
terpuruk dalam kubangan multikrisis dewasa ini. Para
elit politik harus sadar diri akan perlunya membangun
kembali toleransi dan hidup berdampingan secara damai
antarumat beragama, perlunya kerukunan kehidupan antar
suku-bangsa dan etnik, perlunya kesadaran akan
supremasi hukum, HAM dan Keadilan sosial. 

Proses disintegrasi bangsa dan negara yang sedang
berjalan dewasa ini adalah akibat dari proses
pembodohan yang dilakukan oleh Orde Baru, yang
mengakibatkan rakyat kehilangan jiwa dan semangat
Pancasila, tidak mengenal kembali nilai-nilai
Pancasila. Sebab Orde Baru sendiri tidak
berkepentingan untuk merealisasi nilai-nilai Pancasila
yang sebenarnya, seperti apa yang diajarkan Bung Karno
dalam pidatonya 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Tapi
sebaliknya ajaran Pancasila bahkan diselewengkan dan
ditunggangi untuk kepentingan kelanggengan
kekuasaannya.

Dewasa ini, setelah jatuhnya rezim Suharto, muncullah
ke permukaan alam nyata akibat pembodohan dan
diselewengkannya Pancasila: di beberapa daerah timbul
gerakan separatisme, kerusuhan yang bermuatan isu
agama, pertentangan antara etnik dan lain-lainnya. Hal
itu, seperti telah diuraikan di atas, menunjukkan
hilangnya rasa sebagai satu bangsa, rasa toleransi dan
saling menghormati dalam kehidupan beragama dan rasa
kerukunan suku-suku bangsa dalam kehidupan
bermasyarakat. 
Sedang merebaknya organisasi-organisasi kemiliteran
dewasa ini, yang dapat dikategorikan sebagai salah
satu bentuk pengingkaran nilai-nilai Pancasila, jelas
hanya menambah eskalasi keresahan di dalam masyarakat
yang telah bosan akan keresahan.

Dalam era perjuangan untuk reformasi dewasa ini perlu
sekali satu poin penting dari Manipol (Manifesto
Politik) diperhatikan. Yaitu pemisahan antara kawan
dan lawan revolusi Indonesia. Tapi sesuai dengan
perkembangan politik dewasa ini, poin tersebut harus
diformulasikan sebagai pemisahan kawan reformasi dan
lawan reformasi (atau Pro-Reformasi dan
Kontra-Reformasi). Hal ini penting sekali di mana
kekuatan orde Baru masih bertebaran di seluruh
lembaga-lembaga negara dan kemasyarakatan. Jangan
sampai yang kita rangkul adalah lawan reformasi dan
sebaliknya kawan malah kita tendang. Bagaimana kita
bisa mencapai tujuan reformasi, kalau di dalam barisan
reformasi bercokol tokoh-tokoh antireformasi.

Bahwasanya Presiden Gus Dur dalam berbagai kesempatan
mengangkat Soekarno dan ajaran-ajarannya, patutlah
mendapatkan acungan jempol. Sebab apa yang dilakukan
Gus Dur tersebut merupakan suatu hal yang sangat
langka dilakukan oleh elit-elit politik lainnya.
Mereka sebaliknya malah selalu menjelek-jelekkan Bung
Karno, menyamakan Soekarno dengan Soeharto.
Tapi dalam kaitannya dengan Pidato Perdamaian yang
diucapkan Presiden Gus Dur, di mana diminta agar kita
menghilangkan istilah orde-orde-an (Orba, Orla),
agaknya perdamaian semacam itu dapat disangsikan
kemaslahatannya. Hal itu sama saja mencampur harimau
dan kambing dalam satu kandang, setelah penghapusan
nama “harimau” dan “kambing”. Akibatnya hanya
ketragisan yang akan kita peroleh. Sebaliknya kita
seharusnya lebih jeli lagi melihat siapa kawan dan
siapa lawan reformasi, kita harus lebih giat lagi
mengekspos kejahatan-kejahatan Orba, yang telah
mencelakakan Negara dan Bangsa. Menghilangkan kata
“Orde Baru” (Orba) dalam kamus politik sama saja kita
menghapus atau paling tidak melupakan
kejahatan-kejahatan Orde Baru.

Maka dari itu dalam perjuangan untuk reformasi, kita
harus lebih menekankan perlunya persatuan bangsa atas
dasar prinsip persatuan bangsa seperti yang tertuang
dalam Pancasila ajaran Bung Karno, dengan tanpa
melupakan siapa kawan dan lawan reformasi. 

Dari uraian di atas jelaslah bahwa ide dan ajaran Bung
Karno tentang persatuan bangsa sangat relevan sebagai
salah satu pedoman untuk mengatasi multikrisis di
Indonesia dewasa ini.

Dalam memperingati HUT ke-100 Bung Karno
sepantasnyalah kalau kita mengangkat salut
setinggi-tingginya kepada Bung Karno, yang telah
berjasa menanamkan ide persatuan bangsa dan yang
dengan konsekuen mempertahankan ide tersebut dari masa
mudanya hingga akhir hayatnya. Bahkan pencopotan
jabatan presiden oleh MPR-Orba yang dipimpin jendral
A.H.Nasution (dengan TAP MPR No.XXXIII/1967) tidaklah
menggoyahkan konsistensinya atas ide dan ajarannya
tersebut di atas. Dalam perjuangan reformasi dewasa
ini, yang antara lain berjuang untuk menegakkan
keadilan, maka selayaknyalah gerakan reformasi
menuntut pencabutan TAP MPR No.XXXIII/1967, yang tidak
adil dan inkonstitusional, sebagai tanda penghormatan
atas jasa-jasa Bung Karno terhadap bangsa dan negara.*

Rev: