Oleh : Neni Utami Adiningsih
Penulis adalah Dosen UIN Sunan Gunung Djati. Kepala RA Alif
UNTUK kesekian kalinya, sejak tanggal 1 hingga 7 Februari 2012 diselenggarakan Pesta Buku Bandung. Bila bicara buku tentu tidak lepas dari aktivitas membaca. Pertanyaannya, sudahkah membaca menjadi salah satu kegiatan rutin kita? Yang secara sadar kita lakukan setiap hari dan merasa ada yang kurang/hilang bila tidak melakukannya, laiknya kita melakukan aktivitas makan, minum, tidur, bekerja, bahkan menonton televisi, bertwiteran serta berfacebookan.
Belum
Hingga kini sebagian besar masyarakat Indonesia belum mempunyai kebiasaan membaca (reading habit). Jangankan membaca buku-buku "berat" dan tebal yang bertema sastra, sosial, filsafat, atau buku-buku teknologi yang sarat dengan istilah asing, untuk membaca surat kabar saja, yang semestinya dengan sekali duduk, tak lebih dari 30 menit, sudah bisa tuntas dibaca, masih sangat enggan. Pedagang surat kabar baru diserbu pembeli apabila ada pertandingan sepakbola, sekadar ingin melihat jadwal dan hasil pertandingan. Sungguh berbeda dengan keinginan dan waktu yang digunakan untuk menonton televisi, SMS-an atau "berkicau" di media online. Begitu besar minatnya, sampai sampai sering dijumpai pengendara motor/mobil yang mau membahayakan diri dan orang lain dengan memencet-mencet tombol HP sambil mengemudi.
Masyarakat Bandung saja, yang kotanya sangat terkenal mempunyai banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi berkualitas, ternyata jarang membaca buku. Penelitian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jawa Barat pada 2010 yang bertajuk "Siapa Masih Membaca Buku (Cetak)?" di Bandung memperlihatkan bahwa dari 2.400 responden (0,1% jumlah penduduk Kota Bandung) hanya separuhnya saja, yakni 50,21 persen, yang mau membaca, itu pun kurang dari satu jam yang 45 persennya hanya untuk melaksanakan tugas. Artinya, karena terpaksa, bukan karena keinginannya sendiri. 20,25 persen responden membaca untuk mendapatkan inspirasi dan 19,38 persennya untuk memperoleh hiburan. Dapat dipastikan persentasenya akan semakin kecil untuk rentang waktu baca yang lebih lama.
Minat terhadap buku ini berkebalikan dengan atensi terhadap peralatan informatika. 52,20 persen masyarakat menghabiskan waktu 1-3 jam untuk menggunakan internet. Bahkan, ada yang hingga 3-5 jam. Ironisnya, 52,79 persen pemanfaatan internet hanya intuk komunikasi interaktif seperti media sosial yakni Facebook, Yahoo Messenger, Twitter, dan sebagainya. Yang menggunakannya untuk komunikasi via email 11,96% . Hanya 15,58 persen saja yang memanfaatkannya untuk mencari informasi. Bahkan yang menggunakan internet untuk membaca buku online hanya 3,04 persen (Galamedia, 1/11/11). Bagaimana dengan ketertarikan terhadap tayangan televisi? Hasil survey dari lembaga riset The Nielsen Company pada tahun 2010 menunjukkan bahwa anak usia lima tahun ke atas rata-rata menonton televisi sekitar 4 jam 22 menit sehari. Jumlah ini, lima menit lebih banyak dibandingkan tahun 2009.
Lompatan
Kondisi budaya tidak baca ini diakibatkan oleh kegagalan masa lampau masyarakat kita dalam membangun kehidupan beraksara tulis. Ketika itu masyarakat sudah piawai untuk berbicara juga sangat kreatif namun sangat enggan untuk mendokumentasikan semua pembicaraan dan ide dalam bentuk tulisan. Terbukti tidak banyak peninggalan sejarah yang berbentuk tulisan. Saat ini kita sering kesulitan menelusuri aktivitas, peristiwa dan pola pikir kehidupan masa lampau. Karena tidak ada yang ditulis, tentu tidak ada juga yang dapat dibaca, apalagi dipahami..
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan penguasa yang tidak mendukung berkembangnya budaya baca menulis. Bahkan minimnya dukungan ini terus berlanjut hingga kini. Mahalnya harga kertas, tingginya pajak perbukuan, rumitnya birokrasi perbukuan merupakan contoh nyata.
Di saat budaya baca juga tulis belum tercipta dengan kuat, kita telah diserbu budaya media informatika. Berbeda dengan keberadaan buku, Pemerintah justru sangat mendukung keberadaan media informatika. Kian hari harga media informatika semakin murah dengan produk yang kian beragam. Hasilnya, kini televisi, HP dan internet bukan lagi barang mewah yang sulit dicari. Kita telah mengalami lompatan budaya yang menghambat berkembangnya budaya baca.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 memperlihatkan bahwa penduduk berusia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya berjumlah 55,11 persen yang membaca tabloid atau majalah sebesar 29,22 persen, yang membaca buku fiksi 44,28 persen, dan yang membaca buku pengetahuan 21,07 persen. Kondisi ini tak jauh beda dengan kondisi 10 tahun sebelumnya (1993), hanya meningkat sebesar 0,2 persen padahal kenaikan jumlah menonton televisi mencapai 21,1 persen.
Itulah, yang menyebabkan budaya baca tidak terbangun di masyarakat kita. Berbeda halnya dengan di negara-negara Barat. Di sana, budaya baca sudah terbentuk kokoh ketika budaya menonton televisi dan berinternet terjadi. Sehingga walaupun mereka menonton televisi, namun tetap mempertahankan budaya bacanya.
Memang membaca bukanlah satu-satunya cara untuk untuk memperoleh pengetahuan, dengan menonton televisi dan bersosialisasi kita juga dapat memperoleh informasi, namun demikian menurut beberapa ahli ada kelebihan dari membaca dalam konteks pencarian pengetahuan. Hal ini karena aktivitas membaca melibatkan aspek berpikir (to think), merasakan (to feel), dan bertindak (to act). Di sepanjang hampir seluruh jenjang pendidikan, kita diajari membaca terutama hanya untuk mencari informasi, bukan untuk memahami, merasakan dan bertindak. Akibatnya, membaca menjadi kegiatan yang kurang menarik. Orang tua dan pendidik mempunyai andil besar untuk mengenalkan nikmatnya membaca kepada anak (didik)nya. Agar langkah ini berhasil, teladan menjadi kunci utamanya. Jadi, mari kita membudayakan membaca.
Belum
Hingga kini sebagian besar masyarakat Indonesia belum mempunyai kebiasaan membaca (reading habit). Jangankan membaca buku-buku "berat" dan tebal yang bertema sastra, sosial, filsafat, atau buku-buku teknologi yang sarat dengan istilah asing, untuk membaca surat kabar saja, yang semestinya dengan sekali duduk, tak lebih dari 30 menit, sudah bisa tuntas dibaca, masih sangat enggan. Pedagang surat kabar baru diserbu pembeli apabila ada pertandingan sepakbola, sekadar ingin melihat jadwal dan hasil pertandingan. Sungguh berbeda dengan keinginan dan waktu yang digunakan untuk menonton televisi, SMS-an atau "berkicau" di media online. Begitu besar minatnya, sampai sampai sering dijumpai pengendara motor/mobil yang mau membahayakan diri dan orang lain dengan memencet-mencet tombol HP sambil mengemudi.
Masyarakat Bandung saja, yang kotanya sangat terkenal mempunyai banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi berkualitas, ternyata jarang membaca buku. Penelitian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jawa Barat pada 2010 yang bertajuk "Siapa Masih Membaca Buku (Cetak)?" di Bandung memperlihatkan bahwa dari 2.400 responden (0,1% jumlah penduduk Kota Bandung) hanya separuhnya saja, yakni 50,21 persen, yang mau membaca, itu pun kurang dari satu jam yang 45 persennya hanya untuk melaksanakan tugas. Artinya, karena terpaksa, bukan karena keinginannya sendiri. 20,25 persen responden membaca untuk mendapatkan inspirasi dan 19,38 persennya untuk memperoleh hiburan. Dapat dipastikan persentasenya akan semakin kecil untuk rentang waktu baca yang lebih lama.
Minat terhadap buku ini berkebalikan dengan atensi terhadap peralatan informatika. 52,20 persen masyarakat menghabiskan waktu 1-3 jam untuk menggunakan internet. Bahkan, ada yang hingga 3-5 jam. Ironisnya, 52,79 persen pemanfaatan internet hanya intuk komunikasi interaktif seperti media sosial yakni Facebook, Yahoo Messenger, Twitter, dan sebagainya. Yang menggunakannya untuk komunikasi via email 11,96% . Hanya 15,58 persen saja yang memanfaatkannya untuk mencari informasi. Bahkan yang menggunakan internet untuk membaca buku online hanya 3,04 persen (Galamedia, 1/11/11). Bagaimana dengan ketertarikan terhadap tayangan televisi? Hasil survey dari lembaga riset The Nielsen Company pada tahun 2010 menunjukkan bahwa anak usia lima tahun ke atas rata-rata menonton televisi sekitar 4 jam 22 menit sehari. Jumlah ini, lima menit lebih banyak dibandingkan tahun 2009.
Lompatan
Kondisi budaya tidak baca ini diakibatkan oleh kegagalan masa lampau masyarakat kita dalam membangun kehidupan beraksara tulis. Ketika itu masyarakat sudah piawai untuk berbicara juga sangat kreatif namun sangat enggan untuk mendokumentasikan semua pembicaraan dan ide dalam bentuk tulisan. Terbukti tidak banyak peninggalan sejarah yang berbentuk tulisan. Saat ini kita sering kesulitan menelusuri aktivitas, peristiwa dan pola pikir kehidupan masa lampau. Karena tidak ada yang ditulis, tentu tidak ada juga yang dapat dibaca, apalagi dipahami..
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan penguasa yang tidak mendukung berkembangnya budaya baca menulis. Bahkan minimnya dukungan ini terus berlanjut hingga kini. Mahalnya harga kertas, tingginya pajak perbukuan, rumitnya birokrasi perbukuan merupakan contoh nyata.
Di saat budaya baca juga tulis belum tercipta dengan kuat, kita telah diserbu budaya media informatika. Berbeda dengan keberadaan buku, Pemerintah justru sangat mendukung keberadaan media informatika. Kian hari harga media informatika semakin murah dengan produk yang kian beragam. Hasilnya, kini televisi, HP dan internet bukan lagi barang mewah yang sulit dicari. Kita telah mengalami lompatan budaya yang menghambat berkembangnya budaya baca.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 memperlihatkan bahwa penduduk berusia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya berjumlah 55,11 persen yang membaca tabloid atau majalah sebesar 29,22 persen, yang membaca buku fiksi 44,28 persen, dan yang membaca buku pengetahuan 21,07 persen. Kondisi ini tak jauh beda dengan kondisi 10 tahun sebelumnya (1993), hanya meningkat sebesar 0,2 persen padahal kenaikan jumlah menonton televisi mencapai 21,1 persen.
Itulah, yang menyebabkan budaya baca tidak terbangun di masyarakat kita. Berbeda halnya dengan di negara-negara Barat. Di sana, budaya baca sudah terbentuk kokoh ketika budaya menonton televisi dan berinternet terjadi. Sehingga walaupun mereka menonton televisi, namun tetap mempertahankan budaya bacanya.
Memang membaca bukanlah satu-satunya cara untuk untuk memperoleh pengetahuan, dengan menonton televisi dan bersosialisasi kita juga dapat memperoleh informasi, namun demikian menurut beberapa ahli ada kelebihan dari membaca dalam konteks pencarian pengetahuan. Hal ini karena aktivitas membaca melibatkan aspek berpikir (to think), merasakan (to feel), dan bertindak (to act). Di sepanjang hampir seluruh jenjang pendidikan, kita diajari membaca terutama hanya untuk mencari informasi, bukan untuk memahami, merasakan dan bertindak. Akibatnya, membaca menjadi kegiatan yang kurang menarik. Orang tua dan pendidik mempunyai andil besar untuk mengenalkan nikmatnya membaca kepada anak (didik)nya. Agar langkah ini berhasil, teladan menjadi kunci utamanya. Jadi, mari kita membudayakan membaca.
