PELAYANAN kesehatan merupakan satu indikator berhasil tidaknya pemerintah melayani masyarakat. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika berbagai program pemerintah yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan digulirkan. Seperti program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda).
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan ini, merupakan amanat UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang harus dilaksanakan pemerintah dan jajaranannya. Pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) harus menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan berupa Jamkesda, supaya semua warga negara memperoleh layanan kesehatan.
Dalam implementasi program yang secara langsung berorientasi untuk keluarga miskin (Gakin) seakan menjadi air pelepas dahaga. Karena ketidakberdayaan dengan alasan ekonomi menjadi persoalan mendasar bagi Gakin untuk tidak berobat mengigat biaya yang mahal. Wajar saja apabila muncul sindiran "rang miskin dilarang sakit". Kalimat ekstrim ini merupakan ungkapan pedas atas ketidakberdayaan, kalau tidak dikatakan sebagai sikap protes, orang-orang kecil.
Kendati kebjakan dan program sudah digulirkan, tampaknya pelaksanaan di lapangan tidak sesederhana yang dibayangkan. Persoalan muncul saat ada tuduhan bahwa pemberian Jaminan Kesehatan tidak tepat sasaran atau banyak warga yang tidak mendapatkan hak atas fasilitas kesehatan tersebut. Hingga akhirnya banyak keluarga miskin yang merasa diperlakukan tidak adil atas penolakan berobat ke rumah sakit rujukan dengan menggunakan failsitas jaminan kesehatan.
Persoalan ini muncul bukan hanya di daerah liputan saya, di Kab. Bandung Barat (KBB), tapi merupakan persoalan diberbagai daerah yang pada intinya berhubungan dengan kemampuan anggaran pusat dan pemerintah daerah.
Informasi tentang semua Gakin di Desa Batulayang, Kec. Cililin, KBB yang tidak mendapatkan fasilitas Jamkesda, membuat saya bergerak ke daerah yang berada di wilayah selatan KBB tersebut. Di sana saya mendapatkan fakta ada 2.613 KK Gakin yang tidak terlayani program Jamkesda dan hanya 11 orang yang mendapatkan Jamkesmas.
Padahal sejumlah Gakin tersebut mendapatkan Kartu Kepesertaan. Namun sehubungan dengan data mereka tidak masuk dalam entri database di Dinas Kesehatan KBB yang memiliki otoritas dalam porgram pelayanan tersebut, membuat warga yang berobat ditolak oleh rumah sakit rujukan. Sudah pasti hal ini menjadi beban moral buat Kedes sebagai pihak terdepan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Masih lemahnya data gakin dan terbatasnya anggaran yang tidak bisa mumpuni kebutuhan jumlah gakin adalah akar permasalahannya. Dalam TA 2011 KBB hanya mampu melayani 548.707 jiwa dengan nilai total Rp 7,6 miliar. Keterbatasan anggaran tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan di lapangan, artinya terpaksa masih banyak warga miskin tidak mendapatkan fasilitas tersebut.
Kita doakan saja agar bangsa ini menjadi bangsa yang kaya, baik dalam konteks moral maupun finansial. Jika bangsa ini sudah menjadi bangsa yang gemah ripah lohjinawi, maka tidak ada lagi kemiskinan. Hingga akhirnya tidak ada lagi kalimat ekstrem "orang miskin dilarang sakit"
Oleh: DENI KUSMAWAN
(Wartawan Galamedia)
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan ini, merupakan amanat UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang harus dilaksanakan pemerintah dan jajaranannya. Pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) harus menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan berupa Jamkesda, supaya semua warga negara memperoleh layanan kesehatan.
Dalam implementasi program yang secara langsung berorientasi untuk keluarga miskin (Gakin) seakan menjadi air pelepas dahaga. Karena ketidakberdayaan dengan alasan ekonomi menjadi persoalan mendasar bagi Gakin untuk tidak berobat mengigat biaya yang mahal. Wajar saja apabila muncul sindiran "rang miskin dilarang sakit". Kalimat ekstrim ini merupakan ungkapan pedas atas ketidakberdayaan, kalau tidak dikatakan sebagai sikap protes, orang-orang kecil.
Kendati kebjakan dan program sudah digulirkan, tampaknya pelaksanaan di lapangan tidak sesederhana yang dibayangkan. Persoalan muncul saat ada tuduhan bahwa pemberian Jaminan Kesehatan tidak tepat sasaran atau banyak warga yang tidak mendapatkan hak atas fasilitas kesehatan tersebut. Hingga akhirnya banyak keluarga miskin yang merasa diperlakukan tidak adil atas penolakan berobat ke rumah sakit rujukan dengan menggunakan failsitas jaminan kesehatan.
Persoalan ini muncul bukan hanya di daerah liputan saya, di Kab. Bandung Barat (KBB), tapi merupakan persoalan diberbagai daerah yang pada intinya berhubungan dengan kemampuan anggaran pusat dan pemerintah daerah.
Informasi tentang semua Gakin di Desa Batulayang, Kec. Cililin, KBB yang tidak mendapatkan fasilitas Jamkesda, membuat saya bergerak ke daerah yang berada di wilayah selatan KBB tersebut. Di sana saya mendapatkan fakta ada 2.613 KK Gakin yang tidak terlayani program Jamkesda dan hanya 11 orang yang mendapatkan Jamkesmas.
Padahal sejumlah Gakin tersebut mendapatkan Kartu Kepesertaan. Namun sehubungan dengan data mereka tidak masuk dalam entri database di Dinas Kesehatan KBB yang memiliki otoritas dalam porgram pelayanan tersebut, membuat warga yang berobat ditolak oleh rumah sakit rujukan. Sudah pasti hal ini menjadi beban moral buat Kedes sebagai pihak terdepan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Masih lemahnya data gakin dan terbatasnya anggaran yang tidak bisa mumpuni kebutuhan jumlah gakin adalah akar permasalahannya. Dalam TA 2011 KBB hanya mampu melayani 548.707 jiwa dengan nilai total Rp 7,6 miliar. Keterbatasan anggaran tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan di lapangan, artinya terpaksa masih banyak warga miskin tidak mendapatkan fasilitas tersebut.
Kita doakan saja agar bangsa ini menjadi bangsa yang kaya, baik dalam konteks moral maupun finansial. Jika bangsa ini sudah menjadi bangsa yang gemah ripah lohjinawi, maka tidak ada lagi kemiskinan. Hingga akhirnya tidak ada lagi kalimat ekstrem "orang miskin dilarang sakit"
Oleh: DENI KUSMAWAN
(Wartawan Galamedia)
